Oleh-oleh dari Taiwan: Koffifah & Marissa Haque

Oleh-oleh dari Taiwan: Koffifah & Marissa Haque
The 62th Asian Pacific Film Festival Best Actress of 1987 held in Taipei Taiwan is for Marissa Grace Haque

Lokasi Taiwan dalam Peta Dunia: Marissa Haque & Ikang Fawzi

Lokasi Taiwan dalam Peta Dunia: Marissa Haque & Ikang Fawzi
Lokasi Taiwan dalam Peta Dunia: Marissa Haque & Ikang Fawzi

CU, Marissa Haque, 1987 Best Actress FFAP 62th, Taipei Taiwan in film titled "Matahari-matahari"

CU, Marissa Haque, 1987 Best Actress FFAP 62th,  Taipei Taiwan in film titled "Matahari-matahari"
CU, Marissa Haque, 1987 Best Actress FFAP 62th, Taipei Taiwan in film titled Matahari-matahari, Directed by Arifin C Noer, Produced by PT. Gramedia Films

Marissa Haque, 1987 Best Actress FFAP 62th, Taipei Taiwan in film titled "Matahari-matahari"

Marissa Haque, 1987 Best Actress FFAP 62th,  Taipei Taiwan in film titled "Matahari-matahari"
Marissa Haque, 1987 Best Actress FFAP 62th, Taipei Taiwan in film titled Matahari-matahari, Directed by Arifin C Noer

Jumat, 10 Juni 2011

Sandra Simangunsong Guru & LO Bahasa Cina-ku (dari Sastra Cina UI): Marissa Haque

marissa-haque-di-beijing-china 

Ferry Salim Bintang Temuan Marissa Haque untuk Produksi Sinetron "Berjudul Kembang Setaman"
Sumber:http://marissahaque-china-inspirasi.blogspot.com/

Biodata
Ferry Salim lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 8 Januari 1967. Ia adalah seorang pemain film dan sinetron Indonesia.

Ferry menikah dengan Merry Prakasa, gadis yang telah dipacarinya selama 10 tahun, pada tahun 1995. Dari pernikahannya, Ferry dikaruniai 2 anak: Brandon Nicholas Salim dan Brenda Nabila Salim.


Biografi
Namanya melejit sejak membintangi Ca bau Kan. Beranjak dari model saat SMA, saat ini Ferry telah bermain dilebih dari 20 judul sinetron dan 2 film (Ca Bau Kan dan Koper).
Meski sejak SMA Ferry telah berkecimpung di dunia model, namun Ferry mampu menyelesaikan pendidikannya. Ferry bahkan menyandang gelar sarjana ekonomi. Akhir tahun 1990 Ferry melanjutkan sekolahnya di Amerika Serikat. Sepulangnya dari sana Ferry menggeluti lagi dunia model yang sempat ditinggalkannya.
Tawaran bermain sinetron pertama kali datang dari Marissa Haque pada tahun 1996. Dalam sinetron "Kembang Setaman", Ferry bermain bersama Ida Iasha. Berawal dari sinetron inilah, Ferry mulai kebanjiran 'job'. Sampai akhirnya pada tahun 2002, Ferry bersama Lola Amaria, Alex Komang, dan Niniek L. Karim membintangi film Ca Bau Kan disutradarai oleh NIa Dinata. Dalam film yang diangkat dari novel karangan Remy Silado ini, Ferry berperan sebagai Tan Peng Liang. Peran itulah yang membawa Ferry masuk nominasi The Best Actor Festival Film Asia Pasifik dan aktor favorit saat Festival Film Bali.
Pada tahun 2004, Ferry Salim ditunjuk oleh UNICEF (United Nations Children's Fund) sebagai duta nasional untuk Indonesia. Menjadi duta UNICEF, Ferry kini sibuk dengan urusan imunisasi, kesehatan balita, dan rencana untuk membuka toko UNICEF yang akan menjual beraneka produk UNICEF seperti kertas surat, amplop, alat tulis, dan boneka.

Sumber: http://selebriti.indonesiaselebriti.com/selebriti/bio/358140665326/Ferry-Salim

"Budaya Menulis Keluarga Besar Kami: Marissa Haque Fawzi"

Baru kusadari beberapa hari terakhir ini ketika seorang teman yang dekat di hatiku dari FH UGM mengirimiku sms yang berbunyi: "Mbak Icha sayang...kelihatannya para alumni dari Unika Atmajaya Jakarta itu punya ciri yang sama deh yaitu suka menulis!"

Hhmmm...iya juga ya?


Namun saya menyukai dunia tulis-menulis jauh sebelum menapaki kaki mengambil S2 ku yang pertama di kampus tersebut. Tapi....memang, setelah gabung dalam pembelajaran di kampus tersebut, kemampuan dan kesenanganku menulis menjadi semakin terasah. Khususnya karena Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan di sini terkenal salah satu yang terbaik di Indonesia, sayapun mengambil S2 dari jurusan LTBI singkatan dari Linguistik Terapan Bahasa Inggris.

Tak hanya diriku Dari LTBI, ternyata adik kelasku dari FE (Fakultas Ekonomi) bernama Angelina Sondakh jua sangat produksitf sekarang dalam dunia penulisa buku. Memang banyak yang memcingkan mata ketika tulisannya melulu soal keluarga dan dirinya. Tapi saya pikir mereka yang sinis itu hanya iri kepada Angie yang cerdas serta produktif!

Iri sebenarnya hanyalah pertanda dari tak mampu...hehe... Jadi, kalau mereka iri jawabannya sebenarnya hanya satu yaitu "menulis juga dong!" Beradu karya melalui budaya menulis pasti akan positif. Daya nalar serta kreasi sportif pasti akan mengemuka, dan dampaknya akan menepis hal negatif lainnya. Sehingga tanpa ragu-ragu saya berani mengajak anda semua untuk bergabung bersama dalam dunia positif yang saya sekeluarga sukai, yaitu: "Ayo Memulis!"


Dalam: "Budaya Menulis Alumni Unika Atmajaya Jakarta: Marissa Haque Fawzi"

Sabtu, 04 Juni 2011

Bella Fawzi Sulung Kami Cukup Lancar Berbahasa Mandarin: Marissa Haque & Ikang Fawzi

Cantiknya Bella Fawzi, Siaran di Global TV dengan Cheongsam, May 2011

Bella Fawzi Sulung Kami Cukup Lancar Berbahasa Mandarin

Jurusannya sewaktu kuliah di FIB UI adalah Sastra Inggris, namun Bella memang sangat berbakat bahasa, dia masih mengambil mata kuliah pilihan Bahasa China atau Mandarin atau Sinologi disebutnya. Kami berdua sering tersenyum sendiri menyaksikan betapa 'lahap'nya Bella mengunyah buku-buku tentang budaya Cina kuno maupun modern. Gaya busana serta kehidupan sehari-hari mereka.

Jumat, 03 Juni 2011

Ni Hao Chris? Wo Pu Ce Tao...: Marissa Haque Fawzi

Tangsel, 27 Mei 2011

Sering secara sambil bercanda saya ungkapkan kepada Ikang Fawzi suamiku, bahwa ilmu diplomasi dari Dato' Fawzi dengan sengaja saya coba terapkan kepada ibunya--Ibu Mertuaku terkasih Ibu atau Mbah Yuya Moe'min.

Lalu sambil melihat serius secara curious, Ikang Fawzi suamiku meletakkan majalah Tempo yang ada di tangannya. Suamiku tahu kalau sudah begitu saya pasti sedang ingin bercanda dan berdekat-dekatan dengannya dalam menghabiskan waktu di malam hari tenang di rumah kami di Pelangi Bintaro, Tangsel, Banten.

Saya katakan bahwa di saat pertama berjumpa dengan Ibu almarhumah, sejujurnya saya merasa agak takut. Karena penampilan Ibu layaknya Ibu pejabat di era Presiden Soeharto yang anggun dan penuh kharisma.

Selain itu sayapun mendengar langsung dari pacarku (saat itu), bahwa mantan pacarnya di saat lalu dari Satra Cina atau Sinologi UI (Universitas Indonesia), juga sangat takut kepada Ibu almarhumah. Waddduuuhh... bathinku saat itu.. gawat nih! Hehe...Kata pacarku itu, Ibu almarhumah tidak suka kepada--sorry Chris...just to be honest to everybody who read this blog--bahwa Ibu Yuya sangat tersinggung kepada Ibunya Christine Panjaitan yang menolak anaknya untuk merencanakan pernikahan atau getting more serious in their relationship. Ibu Yuya merasa anak lelaki tersayangnya tidak layak menderita dalam hubungan rahasia alias back street yang terpaksa mereka lakukan selama itu! Kalau Christine Panjaitan yang cantik serta bersuara merdu itu gagal dalam melakukan pendekatan kepada Ibu Yuya, maka saya memang bertekad kuat untuk berhasil menaklukan hatinya.

Kala itu, Ikang Fawzi pacarku mengatakan bahwa Christine Panjaitan memang telah berusaha melakukan pendekatan, namun memang tidak optimal, karena karakter Chris berbeda dengan saya yang memang bisa sangat ramai serta hangat kala bertegur-sapa dengan siapapun atau lebih tepatnya tidak meraa tinggi hati untuk bersedia menegur-sapa duluan. Waaaah...tentu 'kembang-kempis' cuping hidungku mendengar pujian ikhlas semacam itu. Karena dorongan semangat dari pacarku Ikang Fawzi, maka saat itu action "cito" alias segera karena urgent untuk meng-approach langsung kukerjakan.

Setiap kali datang maka selalu ada 'semacam buah tangan' yang kubawa untuk beliau. Untunglah saat itu undang-undang menyangkut gratifikasi belum ada...hehe...hingga tak perlu saya harus ditangkap KPK karena melakukan upaya penyuapan...hehehe... Konyol memang! Karena saya kan saat itu adalah mahasiswi dari Fakultas Hukum dari Universitas Trisakti, Jakarta. Dan tahu kalau hal tersebut terjadi di ranah peradilan Indonesia, mengakibatkan perlakuan tidak adil dan setara dalam mendapatkan hasil keputusan hakim yang signifikan penuh dengan asas equality before the law...hehehe... Namun Ikang Fawzi suamiku mengatakan tanpa 'diplomasi' "membawa ini dan itu" pun Ibu Yuya sudah jatuh hati kepadaku yang sangat "perempuan" katanya.

Nah! "Sangat perempuan" yang dimaksud sebenarnya adalah bahwa saya sangat menyukai juga pekerjaan domestik semisal: (1) membuat kue; (2) membuat pangan serba Italia; serta (3) punya hobi mengumpulkan resep aneka kuliner dunia termasuk jejamuan (secara khusus Jamu Madura). Karena Chris sang mantan suamiku konon kata Ibu almarhumah, tidak memiliki semua yang kumiliki kecuali suara merdunya semata (dan tentunya cantik juga). Saat itulah kumantapkan hati dengan mengatakan:"... you got it!"

 Artinya, disanalah entry point-ku melalui kemenanganku atas Chris yang saat itu sangat kuketahui masih sering menghubungi Ikang Fawzi pacarku melalui telepon ke rumahnya di jl. Benteng Garuda, Pasar Minggu atau melalui Kakak Ikang tertua bernama Kak Uttie dengan bertelpon ke PT. Japex (Japan Petroleum Exploration) di Jakarta.

Ah, Ikang Fawzi suamiku memang lelaki baik dan tak pernah ingin 'membuang' Chris di tengah 'kepatah-hatiannya'atas diterimanya lamaran calon suami pilihan keluarga Bataknya. Namun tentu apa yang mereka lakukan menyakiti hati terdalamkulah! I never know how much they still love each other di saat saya sudah resmi diterima oleh keluarga Fawzi. Mungkin karena Chris memang bersuara merdu sebening genta gereja, atau karena untuk ukuran general perempuan Batak Chris memang kuakui cantik. Kalau untuk urusan cantik memang Ikang Fawzi pacaraku saat itu punya semacam 'kelebihan' tertentu, dimana matanya tak pernah salah dalam menilai yang cantik dan yang seksi...hehe...termasuk yang serba merdu...hehehe. (again!). Dan saya memang sampai sekarang sering protes kepada 'kelebihan' Ikang Fawzi suamiku itu ... Bahkan saya mengancam akan meninggalkannya melalui cara salah satunya menerima tawaran main film ke Amerika Serikat dari Bapak Hatoek Soebroto untuk film berjudul "Arini Masih Ada Kereta yanga Akan Lewat"--akhirnya film tersebut dibintangi oleh mbak Widyawati & Rano Karno--menjadi pemeran utama bersama Adi Bing Slamet. Dan saya sampaikan kepada Ikang Fawzi pacarku bahwa sebaiknya dia tetap serius dengan Chris dan bertekad mendekati terus secara serius hati Ibu Yuya dengan cara apapun juga. Saya tidak mau menjadi 'ban serep' cinta. Wa bil khusus, karena saat itu sayapun punya "teramat-sangat-kelewat" banyak 'penggemar' setia yang menunggu uluran balasan cinta dariku. Kumbang-kumbang yang datang tersebut beraneka ragam 'bentuk'-karakter-agama-suku nya. Yah...alhamdulillah memang saat itu sayapun sedang naik daun dan memiliki pula pengagum yang sangat banyak, sehingga merasa tak akan kesulitan dalam memilih pasangan untuk insya Allah suamilah begituuuu...

Ikang Fawzi pacarku kusaksikan memang sangat panik mendengar keberatan hati serta penjelasanku! Hal tersebut memang kusengaja karena sejujurnya saya tidak merasa nyaman dengan keberlanjutan kehadiran Christine Panjaitan dalam keluarga Ikang Fawzi pacarku, karena bukankah saat itu mereka sudah putus dan saya telah menjadi pacar resminya? Kalau saat itu saya hadir dalam kehidupan seorang duda beranak--seperti manatan pacarku sebelum Ikang Fawzi--tentu saya tak akan merasa 'gerah' karena jelas statusnya seorang duda cerai! Lhaaa... kalau mereka kan bedaaaa... mana seluruh lagu-lagu yang dibawakan Chris saat itu (yang digubah oleh Bang Rinto Harahap) sebagian besar 'seakan' bercerita tentang kepatah hatian dia dan 'meleleh' bersama bedua dalam cinta abadi! Saya harus memohon maaf secara serius kepada Bang Rinto kalau suatu saat bertemu lagi di Medan bersama mbak Vonny Waluyo sang EO alumni LP3I Banda Aceh, bahwa saya pernah sangat antipati kepada seluruh lkaryanya yang dinyanyikna Christine Panjaita. juga kepada Christine Panjaitan tentunya, secara khusus saya harus meminta maaf karena secara menahun memendam ketidaksukaan yang tinggi kepada dia. Bisa jadi kata mbak Vonny karena Christine Panjaitan mempunyai sifat introfert berbeda dengan saya yang jauh lebih terbuka dan senang menjadi a good listener. Kalau saja sejak awal Christine Panjaitan menunjukkan sikap bersahabat dan mau berbagi rasa denganku saat itu, cerita akan berbeda.

Tapi apa tidak mungkin kalau saat itu sesungguhnya Christine Panjaitan sebenarnya "cemburu" terhadap kehadiranku yang dengan sangat mulus diterima sangat hangat oleh seluruh anggota keluarga besar "baraya sadayana" Banten pacarku terkasih? Karenanya sayapun jadi su'udzon bahwa kala saya telah menjadi kekasih tetap Ikang Fawzi, sebenarnya bibit cinta mereka berdua belumlah padam! Subhanallaaah... semoga saja Christine Panjaitan bersedia memaafkan saya sebelum salah satu dari kami meninggal dunia... Namun memang dia itu agak ...gimana ya? Saat mbak Vonny Waluyo membuat acara di Medan bulan lalu agar saya dan Christine Panjaitandapat duduk semeja dan berbincang sebagaimana para artis lain yang diundang ke Medan, Chris agak 'rikuh' saat ada Ikang...aneh! Biasa sajalah Chris... Akhirnya saat dia baru turun panggung, sayalah yang mencoba menegur dia dengan manis serta "diplomatis" dengan kalimat: "...selamat yan Christine, sukses selalu!" Sudah, hanya begitu sajaaa... Tak ada sapa atau basa-basi lainnya, karena dia hanya mengucapkan: "...terimakasih..." Ya wis-lah saya membathin. Dan esok subuhnya Christine Panjaitan kembali lebih dulu ke Jakarta karena ada shooting TV dengan Andre Taulani di acara Pas Mantap Trans 7. Saat Christine Panjaitan balik ke Jakarta, saya, Ikang Fawzi suamiku, dan LP3I, masih dua hari lagi di Medan bersama Bapak Walikota Medan melakukan touring pendataan siswa SMU menjelang UN (Ujian Nasional).

Informasi saya dapatkan dari asisten Andre yang wartawati di Tangsel bahwa Andre telah mengatur jadwal untuk manggung juga di acara sama bersama Mike Tramph (suami Ayu Azhari penyanyi rock White Lion asal Amerika Serikat), tapi harinya dibedakan karena tidak ingin kejadian seperti di acara Zona Memori Metro TV kejadian lagi. Dimana Mas Sys NS dan Ida Arimurti--mungkin juga ndak sengaja--sangat "norak" bersama Sandro Tobing menjadikan bulan-bulanan kehadiran Ikang Fawzi suamiku dipanggung bersama Christine Panjaitan. Dan herannya tidak ada ungkapan keberatan dari Christine Panjaitan, bahkan suamikupun diam saja tidak menceritakannya langsung kepadaku seperti biasanya. Hehe... Ikang Fawzi suamiku mungkin lupa bahwa saya ini separuh badan sudah seperti intelijen...hehe...(maksudnya intel pentium 4), bahwa segala sesuatu yang disembunyikan dirinya, cepat atau lambat selalu mampu saya ketahui (smile!).

Saya pikir saya dan suami, juga semoga Christine Panjaitan memiliki perasaan dan pikiran yang sama, bahwa alangkah baiknya kita semua melakukan langkah diplomatis serta rekonsiliasi atas apa yang pernah terjadi di masa lalu. Saya benar-benar ingin berjumpa dengan dokter Maringan Tobing suaminya...sebagai saudara, teman, atau pasien obgin barangkali begituuuu... Kata Christine Panjaitan dalam wawancaranya suaminya sekarang ahli di bidang ilmu obgin dan karsinogenik, kebetulan keluargaku rentan terhadap kanker. Sekalian konsultasilah inginnya... Tapi lagi-lagi tergantung kepada Christine Panjaitan. Semoga sebagai mantan calon menantu keluarga diplomat, dirinya lebih terbuka dan bersikap manis kepada saya dan Ikang Fawzi suamiku. Dan menganggap bahwa masa lalu...just let it go...

Salam kasihku untukmu Christine Panjaitan saudariku... tetap semangat dalam menyanyi ya? Ditunggu album barumu... sukses ya Sist? Semoga kita jumpa lagi di Medan di acara mbak Vonny Waluyo. Dan semoga juga, kau bawalah Bang Ingan-mu itu Chris. Saya pribadi ingin berkonsultasi tentang riwayat kesehatan dalam keluargaku. Kata Soraya dan Shahnaz adikku suamimu pernah mereka wawancara, dan sangat ahli alias pintar suaminu itu. Kami berdua ( Ikang dan saya) turut senang mendengar celotehan kedua adik-adikku itu...

Horas!

Sumber: http://marissahaque-diplomasi-inspirasi.blogspot.com/

Marissa Haque (LP3I Surabaya): Sukses Bisnis Kuasai Bahasa Ketiga Dunia

08 Jan 2011 11:56:27| Opo Jarene | Penulis : Ayu Citra

Surabaya - "Ni hao". Sapa Artis berdarah Madura, Marissa Haque menyapa ratusan calon pebisnis sekaligus membekali tips sukses mengarungi dunia usaha 2011 di Surabaya.

Perempuan berjilbab dan istri artis Ikang Fawzi tersebut menyebutkan, salah satu kunci keberhasilan menjalani bisnis adalah kemampuan menguasai bahasa terkini.

"Jangan hanya Bahasa Inggris dan Indonesia yang dikuasai tetapi Bahasa Mandarin," ujarnya.

Kini, ungkap Icha sapaan akrab Marissa, Bahasa Mandarin telah menjadi bahasa wajib ketiga di pasar internasional. Untuk itu, ada baiknya para generasi penerus bangsa saat ini mulai mempelajarinya.

"Namun, idealnya pembelajaran tersebut dilakukan sedini mungkin tetapi bagi mereka yang sudah dewasa tak ada kata terlambat untuk belajar," katanya.

Di sisi lain, ia menyebutkan, proses belajar Bahasa Mandarin lebih mudah ketika mereka adalah Warga Negara Indonesia keturunan China.

"Apalagi, pengajarnya para orang tua yang lama memakai Bahasa Mandarin sehingga pelafalan kata per katanya fasih," katanya.

Kalau buat masyarakat Indonesia nonketurunan China, terang dia, ada kemungkinan lafal katanya kurang mirip. Akan tetapi, ia yakin lambat laun mereka dapat menirukannya.

"Asal mau terbiasa melatih pengucapan kata dengan benar, mereka akan memiliki kemampuan bahasa yang lebih baik," katanya.

Kasus lain, tambah dia, sekarang justru terjadi degradasi budaya akibatnya orang tua Warga Negara Indonesia keturunan China jarang mengajarkan anaknya Bahasa Mandarin.

"Tak jarang anak mereka sendiri enggan mempelajarinya karena menganggap Bahasa Mandarin rumit dan lebih suka memakai bahasa 'sleng'," kata perempuan yang sering datang ke Surabaya untuk bersilaturahmi ke rumah saudara di Jalan Ronggolawe.

Sumber: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/52691/marissa-haque-sukses-bisnis-kuasai-bahasa-ketiga-dunia

Indonesia’s Cinematic Art Stumble and Surge: Marissa Haque Fawzi

World Paper, New York, USA
June, 2001

 By. Marissa Haque Fawzi, An Indonesia Actress, is in Residence at Ohio University 

Indonesia as a country among many countries in the world, cannot escape of the effect of globalization. More specially, the Indonesia film industry is influenced and shaped by the cultures and trends of many other nations.

Among many countries in the world, cannot escape of the effect of globalization. More specially, the Indonesia film industry is influenced and shaped by the cultures and trends of many other nations. This assimilation necessary and positive for progress and increased quality as long as an individual maintains his/ her own touch, so to speak. This process is guaranteed by the fact that our world grows smaller everyday and the boundaries that once existed are no more.The father of Indonesia film, Mr. Haji Usmar Ismail, was the first Indonesia artist to graduate from the School of Film at the University of California Los Angles as early as the 1940s. Generations to follow in the 1970’s were strongly predisposed to Russian production style and technique with Indonesian graduate from Moscow University such as Syumandjaja and Amy Priono. Many artists to follow, Producers and Directors are products of Indonesia education and
training. Their work, also distinguished, is colored by local wit and wisdom. A result of their efforts has been “Edutainment” or educational entertainment for the Indonesian citizen. The only trouble with this is seen in the extremely small ratio of these artists in relation to the population of Indonesia, which far exceeds 200 million. 

If the love of money is the root of all evil it has also been the demise of the film industry in Indonesia. Many Directors viewed the production of movies as a monetary printing press. The typical Indonesian film left nothing for the viewing public; there was no moral message and no real meaning. By the end of 1980s the film industry has stagnated and come to screeching halt. The Indonesia government further stifled the industry’s creativity and quality, and the differences from one film to the next became almost impossible to discern. It was a frustrating time for the movie-going public and even exasperating for those production teams that sought to create. In 1990s gave us Garin Nugroho. 

As a young man, he graduated from University of Indonesia with a degree in Law and attended Indonesia’s Institut Kesenian Jakarta (Indonesian Art Institute). Garin Nugroho was determined to create new standard, and in the mid-1990s he began work. Nugroho presented an Eastern European style of production. Many Indonesian viewers did not understand this style of production and found the storylines difficult to follow, but his works have been honored (and have placed) at almost every international film festivals in which those have appeared. Toward the end of 1999, a group of young Indonesian film graduates that, to date, do not wish to be identified with other movie production teams, came together to produce. They represent the new techno generation, seeking something new and different from all who came before them, and it is known to Indonesians today as the movie Kuldesak. This independent production team used a grassroots style marketing strategy throughout production. The film smacks of Quentin Tarantino. The theme song from thia movie was also honored by MTV at the MTV awards 2000 in New York. The year 2000 was phenomenon for Rivai Riza (Film Director), Mira Lesmana and Triawan Munaf (Co Producers) with their award-winning production Petualangan Sherina or the Adventures of Sherina. The British honored this production with the presentation of the British Chavening Award Scholarship to Riza. This is only logical because Riza finished his Master of Arts in screenwriting at a British Institution in 1999. Riza ia rich with British style. What do we see in the future of the Indonesian film industry? What style do we hope will prevail? There are so many possibilities, but that which cannot be denied and is clear to even those who would close
their eyes is that American films are shown on every channel of Indonesian television and fill Indonesian theatres. 

In this lies an undeniable answer. We are also aware that American film is a collection of assimilations from across the world. Thus we come full circle of globalization and interdependent world in which we live. We will, each and every one of us, learn from all of those around us without exception, if we hope to progress. This is a continual process that will go on for as long as we breathe.


Belajar dari Semangat Tangguh Cina: Marissa Haque Fawzi (Duta LP3I)

Semangat Tangguh Cina dalam Mengahadapi UN (Ujian Nasional): Marissa Haque Fawzi

Christine Panjaitan Temanku Alumni Sinologi FIB UI: Marissa Haque Fawzi

Marissa Haque Fawzi: Salam Damai untuk Dua Penyanyi Fav-ku Christine Panjaitan & Rafika Duri

Entri Populer

Best Actress of 62 th Asian Pacific Film Festival (1987)

The 62th Asian Pacific Film Festival Best Actress of 1987 held in Taipei Taiwan was for Marissa Grace Haque